Tujuan utama management audit adalah untuk menilai performance manajemen
dan fungsi-fungsi dalam perusahaan, terutama efektifitas, efisiensi dan
kehematan (ekonomisasi). Fraud atau kecurangan merupakan hambatan untuk
penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif dan ekonomis, sehingga
harus selalu menjadi perhatian penting manajemen dan dewan direktur
organisasi.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan WJS
Purwadarminta, kecurangan berarti tidak jujur, tidak lurus hati, tidak
adil dan keculasan (Karni, 2000:49). Didalam buku Black’s Law Dictionary
yang dikutip oleh Tunggal (2001:2) dijelaskan satu definisi hukum dari
kecurangan, yaitu berbagai macam alat yang dengan lihai dipakai dan
dipergunakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan terhadap orang
lain, dengan cara bujukan palsu atau dengan menutupi kebenaran, dan
meliputi semua cara-cara mendadak, tipu daya (trick), kelicikan
(cunning), mengelabui (dissembling), dan setiap cara tidak jujur,
sehingga pihak orang lain bisa ditipu, dicurangi atau ditipu (cheated).
The
Institute of Internal Auditor di Amerika mendefinisikan kecurangan
mencakup suatu ketidakberesan dan tindakan ilegal yang bercirikan
penipuan yang disengaja. Ia dapat dilakukan untuk manfaat dan atau
kerugian organisasi oleh orang di luar atau dalam organisasi ( Karni,
2000:34).
Tunggal (2001:1) mengutip definisi fraud menurut Michael J.Cormer sebagai berikut:
Fraud
is any behavior by which one person gains or intends to gain a
dishonest advantage over another. A crime is an intentional act that
violates the criminal law under which no legal excuse applies and where
there is a state to codify such laws and endorce penalties in response
to their breach. The distinction is important. Not all frauds are crims
and the majority of crimes are not frauds. Companies lose through
frauds, but the police and other enforcement bodies can take action only
against crimes.
Pendapat Cormer tersebut kurang lebih mempunyai
arti : bahwa kecurangan merupakan suatu perilaku dimana seseorang
mengambil atau secara sengaja mengambil manfaat secara tidak jujur atas
orang lain. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang
melanggar undang-undang kriminal yang secara hukum tidak boleh dilakukan
dimana sebuah negara mengikuti hukum tersebut dan memberikan hukuman
atas pelanggaran yang dilakukan. Perbedaan ini penting, karena tidak
semua kecurangan adalah kejahatan dan sebagian besar kejahatan bukan
kecurangan. Perusahaan menderita kerugian akibat kecurangan, tetapi
polisi dan badan penegak hukum lainnya bisa mengambil tindakan hanya
terhadap kejahatan.
Fraud atau kecurangan ini juga perlu
dibedakan dengan errors atau kesalahan. Errors dapat dideskripsikan
sebagai unintentional mistakes. Kesalahan dapat terjadi pada setiap
tahap dalam pengelolaan transaksi, yaitu terjadinya transaksi,
dokumentasi, pencatatan dari ayat-ayat jurnal, pencatatan debet kredit,
pengikhtisaran proses dan hasil laporan keuangan. Kesalahan dapat dalam
banyak bentuk, yaitu matematis, kritikal, atau dalam aplikasi
prinsip-prinsip akuntansi. Apabila kesalahan dilakukan dengan sengaja
(intentional), maka kesalahan tersebut merupakan kecurangan atau
fraudulent (Tunggal, 2003:301).
Faktor yang membedakan antara
kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang
berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan
yang disengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001:316.2).
Kecurangan
yang terjadi di setiap negara mempunyai jenis yang berbeda-beda karena
praktik kecurangan antara lain sangat dipengaruhi oleh kondisi hukum di
negara yang bersangkutan. Negara dengan penegakan hukum yang sudah
berjalan baik dan kondisi ekonomi masyarakat secara umum cukup atau
lebih dari cukup, memiliki lebih sedikit modus operandi praktik
kecurangan (Karni, 2000:33).
Berikut adalah berbagai perspektif kecurangan menurut Bologna yang dikutip oleh Tunggal (2001:7), yaitu:
1. Kecurangan: perspektif manusia
Kecurangan
bagi orang awam, adalah kecurangan yang direncanakan yang dilakukan
pada orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi pribadi, sosial
atau politik. Kecurangan adalah penyimpangan persepsi moral yang kita
sebut kebenaran, keadilan hukum, keadilan dan kesamaan.
2. Kecurangan: perspektif sosial dan ekonomi
Kecurangan
dianggap perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial karena
kecurangan dapat menghancurkan hubungan dan kepercayaan antar manusia.
Tanpa kepercayaan, interaksi manusia tersendat dan hubungan antar
manusia tidak berkembang. Perdagangan antar manusia tidak dapat
berkembang jika tidak ada kepercayaan.
3. Kecurangan: perspektif hukum
Kecurangan
dalam arti hukum adalah penggambaran kenyataan materi yang salah yang
disengaja dengan tujuan membohongi orang lain sehingga orang tersebut
mengalami kerugian ekonomi. Hukum dapat memberikan sanksi sipil dan
kriminal untuk perilaku itu. Dengan demikian, kecurangan adalah bentuk
apapun dari kelicikan, penemuan, kebohongan, pengkhianatan, penutupan
atau samaran yang dimaksudkan untuk menyebabkan orang lain terpisah
dengan uang, properti atau hak hukum lainnya dengan tidak adil.
4. Kecurangan: perspektif akuntansi dan audit
Dari
sudut pandang akuntansi dan audit, kecurangan adalah penggambaran yang
salah dari fakta material dalam buku besar atau laporan keuangan.
Pernyataan yang salah dapat ditujukan pada pihak luar organisasi seperti
pemegang saham atau kreditor, atau pada organisasi itu sendiri dengan
cara menutupi atau menyamarkan penggelapan uang, ketidakcakapan,
penerapan dana yang salah atau pencurian atau penggunaan aktiva
organisasi yang tidak tepat oleh petugas, pegawai dan agen. Kecurangan
dapat juga ditujukan pada organisasi oleh pihak luar, misalnya, penjual,
pemasok, kontraktor, konsultan dan pelanggan, dengan cara penagihan
yang berlebihan, dua kali penagihan, substitusi material yang lebih
rendah mutunya, pernyataan yang salah mengenai mutu dan nilai barang
yang dibeli,atau besarnya kredit pelanggan.
Klasifikasi kecurangan
Kecurangan
usaha atau internal dapat digolongkan berdasarkan cara kecurangan
disembunyikan. Terdapat dua metode penyembunyian menurut Tunggal
(2001:6), yaitu:
1. On-book frauds (kecurangan dalam buku)
Pada
dasarnya metode penyembunyian kecurangan dalam buku terjadi dalam usaha.
Pembayaran atau aktivitas gelap/haram dicatat, biasanya dengan keadaan
yang mengaburkan/tidak kentara, dalam buku dan catatan regular
perusahaan.
2. Off-book frauds (kecurangan di luar buku)
Kecurangan
di luar buku terjadi di luar aliran utama akuntansi. Biasanya, apabila
kecurangan di luar buku terjadi, perusahaan umumnya mempunyai rabat
pemasok yang tidak tercatat atau penjualan kas yang signifikan.
Karni (2000:35) mengklasifikasikan kecurangan menjadi tiga macam sebagai berikut:
1. Management Fraud
Kecurangan
ini dilakukan oleh orang dari kelas ekonomi yang lebih atas dan
terhormat yang biasa disebut white collar crime, karena orang yang
melakukan kecurangan biasanya memakai kemeja berwarna putih dengan kerah
putih. Penyebutan istilah white collar crime sendiri diangkat oleh
Edwin H. Sutherland yang memberikan batasan tentang white collar crime
sebagai : a violation of criminal law by the person of the upper socio
economic class in the course of his occupational activities (Pranasari
dan Meliala, 1991:107).
2. Non Management (Employee) Fraud
Kecurangan
karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kecurangan ini
kadang-kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Kesempatan meleakukan
kecurangan pada karyawan tingkat bawah relatif lebih kecil dibandingkan
kecurangan pada manajemen. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai
wewenang, sebab pada umumnya semakin tinggi wewenang semakin besar
kesempatan untuk melakukan kecurangan.
3. Computer Fraud
Kejahatan
komputer dapat berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer di luar
peruntukan yang sah dan perusakan atau pencurian fisik atas sumber daya
komputer itu sendiri. Termasuk juga defalcation atau embezzlement yang
dilakukan dengan memanipulasi program komputer, file data, proses
operasi, peralatan atau media lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan/organisasi yang mempergunakan sistem komputer tersebut.
Ikatan
Akuntansi Indonesia (2001:316.2) menyatakan bahwa ada dua tipe salah
saji yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang kecurangan dalam
audit atas laporan keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat
dari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan kecurangan yang timbul
dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, berikut penjelasannya :
1.
Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah
salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan
dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan.
Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan seperti yang
disajikan berikut ini:
a. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan
catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data
bagi penyajian laporan keuangan.
b. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi atau informasi yang signifikan.
c. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.
2.
Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva
(seringkali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) berkaitan
dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak
disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Perlakuan tidak
semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara,
termasuk penggelapan tanda terima barang/uang, pencurian aktiva, atau
tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang
tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva
dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan
dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen,
karyawan atau pihak ketiga.
Penyebab kecurangan
Gandhi
mengatakan bahwa berbagai kelemahan dalam prosedur dan tata kerja,
salah satunya adalah kelemahan petugas serta pengawasan, yang kerap
dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan ekonomi (Pranasari dan Meliala,
1991:3). Sistem pengendalian intern yang lemah memang memudahkan
terjadinya kecurangan, akan tetapi sistem pengendalian yang kuat juga
tidak menjamin bahwa kecurangan tidak terjadi. Sistem pengendalian
intern tidak dimaksudkan untuk meniadakan semua kemungkinan terjadinya
kesalahan atau penyelewengan, akan tetapi sistem pengendalian intern
yang baik akan dapat menekan terjadinya kesalahan dan penyelewengan
dalam batas-batas biaya yang layak dan kalaupun kesalahan dan
penyelewengan terjadi hal ini dapat diketahui dan diatasi dengan cepat.
Penyebab-penyebab
terjadinya kecurangan menurut Tunggal (2003:304) mengutip dari Venables
dan Impey digolongkan menjadi penyebab utama dan penyebab sekunder,
sebagai berikut :
1. Penyebab utama
a. Penyembunyian (concealment)
Kesempatan tidak terdeteksi. Pelaku perlu menilai kemungkinan dari deteksi dan hukuman sebagai akibatnya.
b. Kesempatan/Peluang (opportunity)
Pelaku
perlu berada pada tempat yang tepat, waktu yang tepat agar dapat
mendapatkan keuntungan atas kelemahan khusus dalam sistem dan juga
menghindari deteksi.
c. Motivasi (motivation)
Pelaku membutuhkan
motivasi untuk melakukan aktivitas demikian, suatu kebutuhan pribadi
seperti ketamakan/kelobaan/kerakusan dan motivator yang lain.
d. Daya tarik (attraction)
Sasaran dari kecurangan perlu menarik bagi pelaku.
e. Keberhasilan (success)
Pelaku perlu menilai peluang berhasil, yang dapat diukur dengan baik untuk menghindari penuntutan atau deteksi.
2. Penyebab sekunder
a. “A Perk”
Akibat kurangnya pengendalian, mengambil keuntungan aktiva organisasi dipertimbangan sebagai suatu tunjangan karyawan.
b. Hubungan antar pemberi kerja/pekerja yang jelek
Rasa saling percaya dan menghargai antar pemberi kerja dan pekerja telah gagal.
c. Pembalasan dendam (revenge)
Ketidaksukaan terhadap organisasi mengakibatkan pelaku berusaha merugikan organisasi tersebut.
d. Tantangan (challenge)
Karyawan
yang bosan dengan lingkungan kerjanya berusaha mencari stimulus dengan
‘memukul sistem’, yang dirasakan sebagai suatu pencapaian atau
pembebasan dari rasa frustasi.
Sidharta mengungkapkan bahwa salah
satu hal yang menyuburkan praktek kecurangan adalah ketergila-gilaan
manusia terhadap uang. Uang mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan
bermasyarakat. Tidak ada seorangpun yang tidak butuh uang. Seyogianya
oranglah yang menguasai uang, akan tetapi pada suatu saat dan tingkat
tertentu orang dapat diperbudak oleh uang, sehingga uang beralih
menguasai manusia. Dalam keadaan seperti itu, uang dapat mempengaruhi
etika dan moral (Pranasari dan Meliala, 1991:109).
Menurut Tunggal (2001:10) kecurangan paling sering terjadi apabila didukung oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. Pengendalian intern tidak ada, lemah atau dilakukan dengan longgar.
2. Pegawai diperkerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
3.
Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau
ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan
keuangan.
4. Model manajemen sendiri korupsi, tidak efisien atau tidak cakap.
5. Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan.
6. Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi korupsi.
7. Perusahaan mengalami masa yang buruk.
Ramos
(2003) menyampaikan kondisi yang mendukung terjadinya kecurangan yang
diadaptasinya dari Fraud Detection in a GAAS Audit-SAS No.99
Implementation Guide, sebagai berikut :
Three conditions are present when fraud occurs, are:
1.
Incentive/Pressure. Management or other employees may have an incentive
or be under pressure, which provides a motivation to commit fraud.
2.
Opportunity. Circumstances exist-for example, the absence of controls,
ineffective controls, or the ability of management to override
controls-that provide an opportunity for fraud to be perpetrated.
3.
Rationalization/Attitude. Those involved in a fraud are able to
rationalize a fraudulent act as being consistent with their personal
code of ethics. Some individual possess an attitude, character or set of
ethical values that allows them to knowingly and intentionally commit a
dishonest act.
Isi dari Implementation Guide tersebut kurang lebih mempunyai arti bahwa:
1. Manajemen atau karyawan mungkin didorong atau berada dibawah tekanan yang memotivasi mereka untuk melakukan kecurangan.
2.
Kondisi lingkungan, seperti tidak adanya pengawasan, pengawasan yang
tidak efektif, manajemen yang mengesampingkan pengawasan, merupakan
kesempatan untuk melakukan kecurangan.
3. Mereka yang terlibat dalam
kecurangan mungkin menganggap kecurangan sesuai dengan kode etik mereka.
Beberapa orang mungkin memiliki sikap, karakter, atau nilai-nilai yang
memperbolehkan mereka untuk melakukan perbuatan tidak jujur dengan
sengaja.
Sumber : http://sobatbaru.blogspot.com/2010/05/pengertian-kecurangan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar